JAKARTA – Pasar energi global kembali diguncang oleh kenaikan harga minyak dunia yang terjadi untuk sesi ketiga berturut-turut, Kamis, 20 Februari 2025. Lonjakan harga ini didorong oleh penurunan tajam dalam persediaan bahan bakar minyak (BBM) dan distilat di Amerika Serikat, melebihi proyeksi analis yang telah mengantisipasi angka tersebut.
Menurut data terkini dari Energy Information Administration (EIA), persediaan BBM di Amerika Serikat mengalami penurunan sebesar 151.000 barel, menjadikan total menjadi 247,9 juta barel pekan lalu. Prediksi sebelumnya dari analis hanya memperkirakan penurunan sebanyak 6.000 barel, yang menunjukkan situasi lebih parah dari yang diperkirakan. Selain itu, stok distilat yang mencakup solar dan minyak pemanas merosot sebesar 2,1 juta barel hingga mencapai 116,6 juta barel, sekali lagi melebihi ekspektasi analis yang memperkirakan penurunan sebesar 1,6 juta barel.
Kenaikan harga minyak global ini dipimpin oleh minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Maret 2025, yang mengalami kenaikan sebesar 32 sen, setara dengan 0,44 persen, menjadi US$72,57 per barel di New York Mercantile Exchange. Di sisi lain, harga minyak mentah Brent untuk pengiriman April 2025 naik 44 sen atau 0,58 persen, menjadi US$76,48 per barel di London ICE Futures Exchange.
Meskipun terjadi penurunan dalam persediaan BBM dan distilat, cadangan minyak mentah AS justru mengalami peningkatan sebesar 4,6 juta barel, mencapai total 432,5 juta barel. Angka ini juga melampaui prediksi para analis yang sebelumnya memperkirakan peningkatan sebesar 3,1 juta barel.
Richard Simpson, seorang analis energi dari Future Trading Education, memberikan analisisnya terhadap situasi ini. "Penurunan persediaan BBM dan distilat di AS, yang ternyata lebih besar dari ekspektasi, telah memicu kegalauan di pasar energi. Meskipun terjadi penambahan dalam cadangan minyak mentah, kekhawatiran tentang pasokan BBM dan produk energi lainnya mendorong kenaikan harga minyak," ungkapnya.
Lebih lanjut, Simpson menegaskan bahwa pasar minyak saat ini sangat sensitif terhadap perubahan data inventarisasi dan dinamika geopolitik yang mempengaruhi. "Kenaikan harga minyak ini bukan semata-mata karena data persediaan, tetapi juga kekhawatiran terhadap potensi gangguan pasokan di tengah situasi geopolitik yang sedang berlangsung," jelas Simpson.
Penurunan besar dalam persediaan BBM dan distilat ini mencerminkan adanya permintaan yang kuat, terutama dengan meningkatnya kebutuhan pemanas selama musim dingin. Fluktuasi harga minyak yang terjadi akhir-akhir ini mengindikasikan ketidakstabilan pasar yang bisa mempengaruhi ekonomi global secara keseluruhan, terutama negara-negara yang mengimpor minyak.
Para pelaku pasar kini memfokuskan perhatian mereka pada perkembangan inventaris energi dan kebijakan organisasi penghasil minyak utama, seperti OPEC. Kemungkinan perubahan kebijakan dari negara-negara anggota OPEC dapat menghadirkan kejutan yang mempengaruhi harga minyak di pasar internasional.
Dengan harga minyak yang terus naik, industri dan konsumen yang bergantung pada bahan bakar fosil mungkin harus menghadapi peningkatan biaya operasional. Tindakan antisipatif dan strategi penghematan energi bisa menjadi langkah esensial untuk mengatasi fluktuasi pasar ini.
Secara keseluruhan, peningkatan harga minyak ini menggambarkan kompleksitas pasar energi global, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Ketidakpastian di sektor energi juga menyoroti pentingnya diversifikasi sumber energi dan investasi jangka panjang dalam energi terbarukan.
Di tengah dinamika pasar minyak saat ini, pengamat ekonomi dan energi akan terus memantau dengan dekat perkembangan situasi ini dan dampaknya terhadap pasar global. Ke depan, respons dari pelaku pasar dan kebijakan energi global diharapkan dapat memainkan peran penting dalam menyeimbangkan penawaran dan permintaan di pasar energi internasional, memastikan stabilitas untuk jangka panjang.